Kamis, 23 Juni 2011

sunan giri


BAB II
PEMBAHASAN

Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam penyiaran dan penyebaran agama Islam di Jawa pada zaman dahulu dipelopori oleh para muballigh Islam yang lebih dikenal dengan sebutan wali. Adapun para wali itu jumlahnya ada sembilan yang dianggap sebagai kelompok yang terdiri dari sejumlah besar para muballigh Islam yang bertugas mengadakan operasi di daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam. Mengenai nama- nama dari para wali songo yang umum dikenal di kalangan  masyarakat sekarang ialah terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.Akan tetapi dalam pembahasan kali ini penulis hanya memusatkan pembahasan pada Sunan Giri sebagai obyek yang akan kita kaji bersama.
Jika kita mengunjungi kompleks pemakaman Sunan Giri dan Kedaton Giri, kita dapat menemukan beberapa situs yang mana di dalamnya menyimpan nilai- nilai kesejarahan yang sangat tinggi.

A. Pengertian Sumber Sejarah
Pengertian sumber sejarah di sini yaitu, segala sesuatu yang dapat memberikan informasi dan dapat dijadikan sebagai bahan untuk merekonstruksi, menggambarkan, menuliskan serta mengisahkan kembali tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu, sehingga menjadi sebuah tulisan sejarah aktualitas manusia di masa lalu.
Sejarah sebagai peristiwa yang terjadi di masa lampau, dapat diungkap kembali oleh para ahli sejarah berdasarkan sumber- sumber sejarah yang ditemukan. Kendati demikian, tidak semua peristiwa sejarah dapat diungkap secara lengkap. Hal ini dikarenakan karena terbatasnya sumber sejarah yang ada.
Dalam penulisan sejarah atau esai kesejarahan kedudukan arau peran sumber sejarah tidak bisa diabaikan. Sumber sejarah merupakan bahan utama yang dipakai untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan subjek sejarah. sumber sejarah atau peninggalan sejarah menurut bentuknya bisa berupa Visual, tulisan, kesaksian para saksi mata atau mereka yang terlibat, atau bisa juga berupa berita atau informasi dari mulut ke mulut. Sedangkan berdasarkan pada kedudukannya sumber sejarah dibagi menjadi sumber sejarah primer dan sumber sejarah sekunder. Untuk memperolehnya penulis bisa mengamati situs- situs insitu[1] atau bisa memanfaatkan badan- badan yang sengaja di bentuk pemerintah untuk merawat kelestarian sumber sejarah yang ada, seperti Badan Arsip, Perpustakaan, museum dan sebagainya.

B. Sumber- Sumber Kesejarahan Sunan Giri Sebagai Penguasa Kesultanan Giri Kedaton
Dalam membahas Sunan Giri sebagai penguasa kesultanan Giri Kedaton, kami menggunakan beberapa sumber- sumber sejarah, diantaranya yaitu sumber sejarah lisan dan sumber sejarah visual. Untuk memahami makna kesejarahan yang tersimpan dalam peninggalan- peninggalan tersebut, kami juga menggunakan beberapa ilmu bantu, salah satu diantaranya yaitu arkeologi.

B.1. Sumber Sejarah Lisan
Sumber lisan adalah sumber yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut, sehingga membentuk tradisi, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, dan lain- lain. Sumber lisan dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, Sumber Lisan sebagai warisan dari tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi ( Oral Tradition). Sumber lisan yang termasuk dalam kategori ini adalah Rumor, Balada Sejarah, Hikayat atau Legenda, Mithos
Kedua, Yakni Sumber lisan yang berasal dari orang sejaman, pelaku peristiwa, atau saksi mata. Sumber lisan jenis ini biasa juga disebut dengan Oral History. Sumber yang termasuk dalam kategori kedua ini, objektifitasnya ebih bisa dipertanggung jawabkan daripada yang pertama karena unsur penambahan dan pengurangan terhadap suatu cerita dapat dikontrol dengan kesaksian pelaku lain.[2]
Dalam membahas Sunan Giri Sebagai penguasa kesultanan di Giri Kedathon pada tahun 1528, kami menemukan dua sumber lisan yang tergolong kategori sumber lisan yang pertama, yaitu juru kunci makam sunan Giri yakni bapak Hisyam dan yang juru kunci Kedaton Giri, yakni Bapak Mukhtar. Untuk Sumber lisan yang termasuk dalam kategori kedua kami tidak menemukannya, hal ini disebabkan oleh keterpautan waktu dimana sunan Giri berkuasa di Giri Kedaton yakni tahun 1528 dengan tahun sekarang.


B.2. Sumber Benda atau Sumber Visual
Sumber Benda atau Sumber Visual yaitu segala sesuatu yang berbentuk dan berwujud, yang dapat membantu sejarawan untuk menjelaskan tentang peristiwa masa lalu manusia. Sumber- sumber visual itu bisa berupa:
a.       Sumber berupa monumen, misalnya: masjid, pura, candi, makam, lukisan, pembuatan emas, stempel.
b.      Sumber berupa ragam hias, misalnya: patung, lukuisan sejarah dalam buku, lambang- lambang
c.       Sumber berupa grafik, misalnya maket kota, catatan statistik, catatan kriminal atau sidik jari, dan lain- lain.
d.      Sumber berupa Photografi, meliputi mikro film, foto bisu maupun bersuara, reproduksi dokumen dengan fotografi, termasuk foto copy.
 Dalam membahas sunan Giri sebagai penguasa kesultanan di Giri Kedathon pada tahun 1528, kami menemukan beberapa sumber visual yaitu berupa foto- foto, diantaranya yaitu salinan foto Giri Kedathon dengan latar depan kolam untuk wudhu sebelum diadakannya pemugaran dan setelah diadakannya pemugaran. Selain itu kami juga mendapatkan beberapa foto dari artefak Insitu yang ada di kompleks pemakaman Sunan Giri berupa ukiran kayu jati yang ada di cungkup pemakaman sunan Giri yang berupa naga paksi dan suluran bunga teratai, bangunan cungkup yang pintunya dibuat rendah. Semua sumber- sumber di atas dapat di lihat dilampiran- lampiran yang kami cantumkan di halaman belakang. Jika dilihat dengan kasat mata saja, kita tidak akan bisa menemukan apa makna di balik itu semua. Oleh karena itu kami akan menggunakan ilmu bantu kesejarahan yaitu arkeologi.
 Kayu sebagai bahan utama dari bangunan cungkup Sunan Giri, nampaknya memiliki makna simbolik. Peninggalan tersebut masih ada kesinambungannya dengan zaman peradaban nusantara kuno, dimana unsur ragam hias kayu itu digambarkan sebagai pohon hayat (pohon kehidupan), kalpa druma (lambang pengharapan), dan kalpa wreksa (lambang keselamatan).[3]
Pintu yang berada di cungkup pemakaman Sunan Giri disini dibuat rendah, sehingga apabila seseorang hendak memasukinya harus membungkukkan badannya sebagai bentuk penghormatan dan rasa tawadhu’ seorang muslim kepada orang yang sudah wafat.
Ragam hias teratai mendominasi gebyok cungkup Sunan Giri. Ragam hias seperti ini umumnya digunakan sebagai ragam hias dalam kesenian sebelum Islam, yaitu pada lapik patung, bangunan candi, dan relief. Pada seni patung atau Ikonografi, teratai biasanya digunakan sebagai asana atau padestal ( tempat untuk berdiri atau duduk) patung raja atau dewa. Teratai dalam budaya Pra- Islam memiliki makna sebagai lambang kelanggengan ( keabadian), kesucian dan kebangkitan kembali.
Ragam hias teratai memiliki arti bahwa kematian jasmani merupakan peralihan dan pembebasan diri dari ikatan- ikatan jasmaniah yang telah hancur menuju  kebangkitan alam rohani dalam alam kehidupan yang baru, yaitu alam kelanggengan, aam keabadian, atau alam akhirat. Tentunya dalam kehidupan yang akan datang itu diharapkan memperoleh kehidupan yang lebih baik.[4]
Sedangkan ragam hias fauna yang berupa naga yang ada pada sebelah kanan dan kiri gerbang bentar serta yang ada pada ukiran- ukiran di gebyok makam Sunan Giri memiliki makna atau simbol tersendiri. Naga memiliki simbol kekuasaan atau tahta. Jadi patung atau ukiran naga di makam Sunan Giri menandakan bahwasanya jasad yang disemayamkan disitu dulunya pernah memegang tampuk kekuasaan atau tahta pada zamannya.
B.2. Sumber dari buku
Sumber sejarah ini termasuk daam kategori sumber tersier, yaitu sumber yang didapat dari buku- buku atau karangan yang masih ada relevansinya dengan judul atau tema yang akan dibahas. Disini kami menemukan beberapa buku yang cocok untuk di jadikan sumber acuan:
a.       Solichin Salam, Sekitar Wali Songo (Yogyakarta: Menara Kudus, 1960)
b.      H. Lawren Rasyidi, Kisah dan Ajaran Wali Songo (Surabaya: Terbit Terang, t.th)








BAB III
KESIMPULAN


Sumber sejarah adalah bahan- bahan yang dapat dipakai mengumpulkan informasi mengenai peristiwa sejarah. Usaha mengumpulkan informasi mengenai peristiwa sejarah itu menjadi tugas sejarawan. Dalam menulis esai kesejarahan sumber- sumber sejarah itu sangatlah dibutuhkan. Mengingat banyaknya subjektifitas yang kerap kali terjadi, seorang sejarawan harus bisa memilih dan memilah atau mencari keotentikan sumber- sumber sejarah yang ada atau yang didapat.


























DAFTAR PUSTAKA

Metini, Wanda. 2003. Kompleks makam Sunan Giri; Tinjauan Historis Arkeologis dalam Dukut Imam Widodo, dkk,Grissee Tempo Doeloe. Gresik: Pemerintahan Kota Gresik

Zulaikha, Lilik. 2010. Diktat Metodologi Sejarah. Surabaya:  IAIN Sunan Ampel

http://www.facebook.com/topic


























LAMPIRAN- LAMPIRAN



 



 terjadi di masa lampau dapat memanfaatkan museum, perpustakaan, arsip nasional, arsip daerah sebagai tempat untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan subjek sejarah yang akan di para ahli sejarah berdasarkan sumber-sumber sejarah yang dapat ditemukan. Meskipun demikian, tidak semua peristiwa masa lampau dapat diungkap secara lengkap karena terbatasnya sumber sejarah.
Dalam penulisan sejarah, peran atau keberadaan sumber sejarah menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Sumber sejarah merupakan bahan utama yang dipakai untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan subjek sejarah. Untuk memperolehnya seseorang dapat memanfaatkan museum, perpustakaan, arsip nasip
Suluran Teratai Pada Gebyok Cungkup makam Sunan Giri





 daerah sebagai tempat untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan subjek sejarah yang akan ditulis.
Sejarah sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau, dapat diungkap kembali oleh para ahli sejarah berdasarkan sumber-sumber sejarah yang dapat ditemukan. Meskipun demikian, tidak semua peristiwa masa lampau dapat diungkap secara lengkap karena terbatasnya sumber sejarah.
Dalam penulisan sejarah, peran atau keberadaan sumber sejarah menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Sumber sejarah merupakan bahan utama yang dipakai untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan subjek sejarah. Untuk memperolehnya seseorang dapat memanfaatkan museum, perpustakaan, arsip nasional, arsip daerah sebagai tempat untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan subjek sejarah yang akan ditulis.

Ukiran Naga Paksi yang ada Di Gebyok Cungkip Makam Sunan Giri



[1]  Situs Insitu yaitu situs yang masih ada di tempat asal dimana ia diketemukan.
[2] Lilik Zulaikha, Diktat Metodologi Sejarah, (Surabaya;  IAIN Sunan Ampel, 2010), 22.
[3] http://www.facebook.com/topic.
[4] Wanda Metini, Kompleks makam Sunan Giri; Tinjauan Historis Arkeologis dalam Dukut Imam Widodo, dkk,Grissee Tempo Doeloe,( Gresik; Pemerintahan Kota Gresik, 2003) hlm 53.

Rabu, 01 Juni 2011

Sejarah Islam Indonesia


PARTAI-PARTAI ISLAM 
DALAM PEMILU TAHUN 1955


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Banyak hal yang terjadi pasca kemerdekaan di Indonesia . Diantaranya, pemilu pertama yang tertunda hingga, hamper 10 tahun. Yaitu awalnya pemilu pertama ini akan dilaksanakan pada awal tahun 1946. Kemudian mundur hingga tahun 1955 dan penundaan pelaksanaan pemilu ini bukan tanpa sebab. Salah satu sebabnya yaitu, adanya perang revolusi yang terjadi pada waktu itu. Selain itu, juga adanya perpecahan diantara partai-partai islam sehingga perpecahan tersebut berdampak kekalahan kepada partai-partai islam dan penyebab perpecahan ini akan kami bahas pada pembahasab selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Partai-partai islam apa sajakah yang mengikuti pemilu 1955?
2.      Bagaimanakah pelaksanaan pemilu pada tahun 1955?

C.     Tujuan Penulisan
Mampu memahami bagaimanakah kemunculan partai-partai islam dalam pemilu pertama tahun 1955 serta pelaksanaan pemilu pada tahun 1955. Bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. 




PEMBAHASAN

A.     PARTAI-PARTAI ISLAM DALAM PEMILU PERTAMA TAHUN 1955
1.      MASYUMI (Majelis Syuro Muslim Indonesia )
Partai politik Islam Indonesia Masyumi didirikan dan diikrarkan sebagai satu-satunya partai politik islam pada tanggal 7 november 1945. Inisiatif pembentukan Masyumi berasal dari sejumlah tokoh partai politik dan pergerakan social keagamaan Is-lam sejak zaman pergerakan organisasi-organisasi. Para tokoh tersebut ada yang meleburkan diri atau kemudian menjadi penopang utama sebagai anggota istimewa Masyumi.[1]
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa Masyumi dibentuk pada tanggal 7 nove-mber 1945 yang juga merupakan tonggak awal dari sejarah panjang politik kepartaian Umat Islam di Indonesia. Dan dikalangan Uman Islam, maklumat tersebut dianggap berkah. Masyumi sebenarnya secara embrional telah digagas semenjak tahun 1937, yakni ketika beberapa tokoh Islam seperti, K.H. Mas Mansoer, K.H. Moh. Dahlan, K.H. Wahab Hasbullah membentuk MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia).
Pada zaman pendudukan Jepang, Jepang menginginkan semua kekuatan rakyat untuk bekerja sama. Dan sikap Miai yang cenderung berpolitik dinilai membahayakan Jepang. Akibatnya pada oktober 1943 Jepang membubarkan Miai dan membentuk Masyumi dengan anggota utamanya berasal dari kalangan NU dan Muhammdiyah.[2]
Partai baru ini dalam tempo singkat telah muncul sebagai partai yang sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia . Ulama dan para pemimipin politik Islam dari seluruh tanah air segera bergabung dengan partai ini, sekalipun banyak diantara mereka yang tidak dapat menghadiri kongres pada bulan November lantaran sulitnya transportasi.[3] namun Masyumi mulai mengalami keretakan internal komitmen sebagai satu-satunya wadah bagi partai-partai Islam tidak dapat dipertahankan karena, pada tahun 1947 PSII menyatakan melepaskan diri dari Masyumi. Akan tetapi, keluarnya PSII tidak memberikan dampak yang signifikan kepada Masyumi. Kegoncangan ditubuh Masyumi baru terjadi ketika tahun 1952 yaitu saat NU menyatakan keluar dari Masyumi.[4]
Dan tujuan Masyumi menurut anggaran dasar 1945 adalah menegakkan kedaulatan republik Indonesia dan agama Islam dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Namun sejak 1954 redaksi tujuannya berubah seperti yang dimuat dalam orang-seorang masyarakat dan Negara republic Indonesia menuju keridhaan ilahi,dan tujuan masyumi berubah yaitu,tidak lagi menegakkan kedaulatan RI tapi melaksanakan ajaran dari hokum islam baik perongan, masyarakat, maupun Negara.dan sejak berdirinya masyumi telah terjadi enam kali pergantian kepengurusan yaitu, pada tahun 1949, 1951, 1952, 1954, 1956, dan pada 1959.[5]

2.      NU (Nahdatul Ulama)
Nahdatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama, adalah sebuah organisasi keagamaan yang berdiri tanggal 31 januari 1926 di Surabaya . Tokoh pendiri NU adalah K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1947). Organisasi ini lahir dari komite Hijaz yang dibentuk karena, kekhawatiran terhadap pengaruh kaum wahabi yang berkuasa di Mekah. Dan tujuan dari organisasi ini adalah berlakunya ajaran Islam berhaluan ahlusunnah wal jamaah dan penganut mazhab Syafii.
Dalam kehidupan politik NU ikut aktif sejak zaman pergerakan kemerdekaan dimasa penjajahan. Semula NU aktif sebagai anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) kemudian majelis syuro muslimin Indonesia (masyumi) baik dibentuk pada jaman Jepang maupun yang didirikan oleh seluruh organisasi Islam setelah merdeka sebagai satu-satu-nya partai politik Islam Indonesia . Namun pada tahun 1952 NU keluar dari keanggotaan Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai.[6]
Terdapat beberapa latar belakang yang menjadi penyebab NU keluar dari keanggotaannya dengan Masyumi. Pertama, NU tidak setuju terhadap perubahan perumusan Masyumi dalam AD/ART Masyumi yang diputuskan dalam muktamar ke-14 di Yogyakarta . Kedua, alas an yang bersifat langsung yakni, terkait dalam pembentukan kabinet. Pada saat Soekarno menunjuk Wilopo sebagai formatur cabinet yang baru. Pada saat itu, K.H. Wahab Hasbullah (NU) mengusulkan agar jatah menteri agama didalam kabinetdiberikan kepada Nu. Namun, meskipun telah melalui berbagai lobby, keinginan yang lebih didasarkan pada Nu itupun tidak ditanggapi dan tetap kandas. Dan akhirnya melalui konferensi PBNU se-Jawa-Madura di Jagalan, Surabaya tanggal 5-6 april 1952, memutuskan untuk keluar dari Masyumi. Keputusan ini kemudian dikokohkan dalam muktamar Nu pada oktober 1952 yang diselenggarakan di Palembang .[7]
Sebagaimana yang telah diisinggung sebelumnya, setelah mengalami berbagai perpecahan dalam Masyumi, dan Nu menyatakan keluar dari Masyumi, mengawali babak baru Nu dalam kancah politik nasional. Untuk mewadahi cita-cita politiknya, Nu kemudian mendirikan partai politik bernama Nu. Masuknya Nu dalam dunia politik secara independen tanpa sumber daya kader yang memadai, dianggap sebagai keberanian yang luar biasa, karena, kebanyakan kader-kader Nu hanyalah lulusan pesantren.[8]

3.      PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)
Partai politik Perti berasal dari organisasi Islam, yang berpusat di Bukittinngi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirikan disuatu pesantren terkenal di Candang.dekat Bukittinggi pada tanggal 20 mei 1930.[9] Para pendirinya terdiri dari Ulama terkemuka antara lain; Syekh Sulaiman Rasuly, Syekh Muhammad  Jamil Djaho, Syekh Abbas Ladang Laweh, Syekh Abdul Wahid As-salihy dan Syekh Arifin Arsady.[10] Pada tahun 1944 para pemimipin Perti bergabung dengan majelis tinggi bukittinggi (MIT), suatu organisasi untuk seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Jamil Jambek seorang Ulama modernis terkenal. Pada desember 1945, MIT berubah bentuk menjadi partai politik sehubungan dengan pengumuman pemerintah RI di Jakarta agar rakyat mendirikan partai politik sebagai cermin pelaksanaan demokrasi. Dan pada masa ini pimpinan Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi suatu partai politik sendiri. Keputusan ini diambil tanggal 22 november 1945, dan diperkuat oleh kongres dibukittinggi tanggal 22-24 desember 1945.
Alasan Perti mendirikan partai sendiri diantaranya adalah. Pertama, mereka merasa tidak cocok berada dalam MIT. Dan kemudian Masyumi di Sumatera (yang merupakan transformasi dari MIT) karena dominasi kalangan modernis yang kurang memperhatikan aspirasi kalangan tradisional didaerah itu. Kedua, para pemimpin Perti melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka, menjadikan organisasinya menjadi partai dari pada harus berjuang dalam MIT dan Masyumi.[11] Dan partai ini berasaskan Islam, paham dalam syariat dan ibadat menurut mazhab Syafii dan dalam lapangan akidah menurut mazhab ahlusunnah wal jamaah.[12]
4.      PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia )
PSII merupakan partai kelanjutan dari syarikat dagang Islam (SDI)   tahun 1911 kemudian berubah menjadi syaikat Islam (SI) tahun 1912 , dan nama syarikat Islam berubah lagi partai syarikat Islam Indonesia pada tahun 1930.[13] Pada awalnya PSII merupakan anggota dari Masyumi. Namun, akhirnya PSII keluar dari keanggotaannya dengan Masyumi, pada tahun 1947. Keluarnya PSII disebabkan oleh ketidakpuasan mereka dalam Masyumi.[14]      
Dan tujuan dari PSII seperti yang terncantum dalam  pasal 2 anggaran dasarnya yaitu, membangun persatuan dikalangan Umat Islam yang didasarkan pada perintah Allah dan RasulNYA didalam segala segi kehidupan, dalam rangka membangun kekuatan dan kecakapan guna menguasai dan menyelamatkan bangsa dan tumpah darah Indonesia sebagai suatu bagian dari persatuan Umat Islam sedunia, serta menjaga keselamatan hubungan Umat Islam baik antar sesama Umat Islam maupun terhadap golongan lain yang sebangsa dan menghubungkan atau mempersatukan usaha dengan satu atau segala golongan yang berguna bagi kesatuan dan kepentingan bersama.[15]
B.     PEMILU PERTAMA TAHUN 1955
1.      Pra pemilu
Pemilu pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1955. Dan pada waktu itu republik Indonesia berusia 10 tahun. Sebenarnya, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan, pemerintah pada waktu itu sudah menyatakan keinginan untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal ini, dicantumkan dalam maklumat X atau maklumat wakil presiden Mohammad Hatta tanggal 3 november 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan Pemilu untuk memilih DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan januari 1946.[16] Pembentukan badan-badan perwakilan rakyan ini sesuai dengan UUD 1945 ayat 1 dan 2 aturan tambahan. Dan batas pembentukan partai-partai politik adalah enam bulan, dilanjutkan dengan Pemilu untuk membentuk perwakilan rakyat antara lain DPR dan MPR. Namun, walaupun partai-partai politik sudah terbentuk Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat di DPR dan konstituante belum terlaksana  karena, disebabkan beberapa hal. Baik belum tersedianya perangkat perunda-undangan untuk mengatur Pemilu, maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan Negara.[17] Dan belum stabilnya keamanan Negara adalah akibat konflik internal antar kekuatan poitik yang ada pada waktu itu, selain itu, pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam yaitu terjadinya perang revolusi menghadapi Belanda yang datang lagi.
Namun, walaupun terjadinya beberapa hal yang disebutkan diatas, ada indikasi kuat bahwa pemerintah masih terlalu punya keinginan untuk menyelelenggarakan Pemilu. Miaslanya, dengan dibentuknya UU No. 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun  1949 tentang Pemilu. Dengan UU ini, diamanatkan bahwa Pemilu yang dilakukan adalah bertingkat (tidak lansung) sifat pemilihan tidak langsung ini didasasrkan kepada alas an bahwa, mayoritas warga Negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga, kalau pemilihan langsung dikhawatirkan  akan banyak  terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Muhammad Natsir memutuskan  untnuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak saat itu pembahasa UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh panitia pemilihan pusat sebelum kemudian dilanjutkan oleh panitia Saharjo dari kantor panitia pemilihan pusat sebelum kemudian dilanjutkan keparlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi Negara kesatua, setelah sejak 1949 menjadi Negara serikat dengan nama republic Indonesia serikat (RIS). Setelah cabinet Natsir jatuh. 6 bulan kemudian, pembahasan RUU pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Soekiman Wirjosandjojo. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Akan tetapi pemerintah Soekirman juga tidak berhasil menuntaskan UU pemilu tersebut. Selanjutnya, UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa peerintahan Wilopo pada tahun 1953. Maka lahirlah UU no 07 tahun 1953 tentang pemilu. UU inilah yang menjadi “ paying hukum“ pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.[18] Dan akhirnya, kampanye pemilu dimulai 31 mei 1954 ketika tanda gambar partai disahkan oleh panitia peilihan Indonesia ( PPI ), pada saat itulah terbuka jalan untuk berkampanye.[19]

2.      Pemilu dan hasilnya
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa pemilu diselenggarakan 2 tahap. Pemilu pertama, untuk memilih anggota DPR yang diselenggarakan pada tanggal 29 september 1955. Yang memilih 257 itu anggota DPR sedangkan, pada tanggal 15 desember 1955 adalah untuk memilih 514 anggota konstituante. Pemilu diikuti oleh 118 peserta ( partai, calon perorangan dan golongan ). Untuk memilih DPR, sedangkan untuk konstituante 91 peserta. [20]
Dan hasil dari pemilu untuk memilih anggota DPR 5 besarnya adalah; PNI meraih 22,32%, Masumy 20,92%, NU 18,41%, PKI 16,36%, PSII 02,89%. Dalam pemilu anggota DPR ini ternyata partai islam mengalami kekalahan walaupun, pada dasarnya masyumi berada diurutan ke-2 kemudian disusul NU pada urutan ke-3 dan pada urutan ke-5 ditempati PSII kemudian Perti berada diurutan ke-10 dengan meraih 01,28%.
Hasil dari pemilu dalam pemilihan anggota konstituante adalah: PNI 23,97%, Masyumi 20,59%, NU 18,47%, PKI 16,47%, PSII 02,80% dan Perti dala pemilu ini juga menempati urutan ke-10 dengan perolehan 01,23%. Dalam pemilu konstituante ini partai islam juga mengalami kekalahan walaupun, Masyui tetap menduduki urutan ke-2. Namun, perolehan suaranya merosot dibandingkan suara yang diperoleh dalam pemilu anggota DPR.[21]
Dari hasil pemilu 1955 diketahui adanya 28 partai politik yang berhasil memperoleh kursi dalam DPR. Dimana PNI dan Masyumi memperoleh kursi yang sama dan terbesar yaitu, 57 kursi. Kemudian disusul NU 45 kursi sedangkan dalam keanggotaan dikonstituante hasil pemilu PMI memperoleh 118 kursi, masyumi 113 kursi dan NU 91 kursi.[22]
                   

[1] Samsuri. Politik  Islam Anti Komunis: Pergumulan Masyumi dan PKI Di Arena Demokrasi Liberal. .( Jakarta : Safiria Insania Press, 2004). Hal, 1o.

[2] Abdul Aziz.Politik Islam Politik: Pergulatan Ideologis PPP Menjadi Partai Islam. ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006). Hal, 36 .
[3] Ahmad Syafii Maarif. Islam Dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. (Jakarta: Gema Insani Press, 1966). Hal, 32.
[4] Abdul Aziz. Politik  Islam Politik: Pergulatan  Ideologis PPP Menjadi Partai Islam. Hal, 38.
[5] Syafullah. Gerakan Politik  Muhammdiyah Dalam Masyumi.(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).  Hal, 146-147.
[6] Ensiklopedi Nasional Indonesia . Jilid 11. (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990).Hal, 10.
[7] Abdul Aziz. Hal, 39.
[8] Ibid. Hal, 40-42
[9] Deliar Noer. Partai Islam Di Pentas Nasiona1 1945-965l. (Bandung: PT. Remaja Rodaskarya, 1987).Hal, 72.
[10] M. Rusly Karim. Perjalanan  Partai  Politik Di Indonesia : Sebuah Potret Pasang  Surut.( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993).Hal, 75.  
[11] Deliar Noer. Partai Islam Di Pentas Nasional. Hal, 73-74.
[12] M. Rusli Karim. Perjalanan Partai  Politik  Di Indonesia : Sebuah  Potret  Pasang Surut. Hal, 75.  
[13] Ibid. Hal, 74.
[14] Deliar Noer. Hal, 76.
[15] M. Rusli Karim. Hal, 74-75.

[17] Syaifullah. Gerakan Politik Muhammadiyah  Dalam Masyumi. Hal, 161.
[19] Samsuri. Politik islam anti komunis: perkumpulan masyumi dan pki di arena demokrasi liberal. Hal 77
[20] Ibid hal 80
[22] Pk. Poerwantana. Partai politik di Indonesia. ( Jakarta: PT rineka cipta, 1994 ) hal 52